Selasa, 25 Februari 2014

Musik Batak Toba

Asyiknya mengunjungi Lake Toba’s World Drum Festival yang dihelat di Samosir, kamu bisa melihat langsung ragam alat musik tradisional khas masyarakat Batak. Misalnya, suling bambu khas Batak hingga Taganing, gendang khas warga lokal. Alat musik ini punya sejarah menarik loh.
Musik Batak Toba

Umumnya, gendang berfungsi sebagai pengiring melodi. Namun, Taganing merupakan gendang pembawa melodi. Sejauh ini, hanya ditemukan tiga gendang jenis tersebut di dunia. Yaitu entenga di Uganda, hasaing waing di Myanmar serta Taganing yang masih hidup dalam tradisi masyarakat Toba. Bahkan, Taganing memiliki varian paling banyak karena dipelihara lima sub etnik Batak, yaitu Toba, Simalungun, Pakpak/Dairi, Karo dan Mandaling.  Masyarakat Toba menyebutnya Taganing, sedangkan di Simalungun dinamai gondrang sipitu-pitu. Epik ya!

Sigale-Gale khas Danau Toba

Kalau kamu berkunjunga ke Pulau Samosir di hari-hari biasa, kamu bisa melihat boneka kayu khas Batak, Sigale-gale. Tapi kapan lagi melihat Sigale-gale pawai bersama kalau tidak saat festival seperti saat ini? Khusus dalam Festival Danau Toba, karnaval Sigale-gale melibatkan berbagai elemen simbolis 4 puak suku Batak. Penampilan gundala-gundala yang terlihat mencolok di barisan kerap dijadikan objek foto menarik. 
Karnaval Sigale Gale

Tari Tor tor Sawan yang kolosal

Tarian Tor- Tor Sawan biasanya ditampilkan dengan iringan musik Magondangi dalam ritual yang berhubungan dengan roh. Umumnya dimaksudkan untuk membersihkan manusia dari dosa. Tapi, kapan lagi melihat tarian ini ditarikan secara kolosal oleh 500 penari jika tak saat festival? Saat pertunjukan, tak sedikit cawan yang jatuh dan pecah.
Tor-Tor-Cawan080913-irsan

Ulos yang nyaris punah

Kain tradisional Batak ini dikhawatirkan akan punah dalam dua generasi mendatang. Penyebabnya ialah harga benang kelewat mahal dan harga Ulos jatuh di pasaran akibat sepi peminat. Jika terus begitu, siapa lagi yang mau menenun Ulos?
Workshop Heritage Danau Toba

Adalah Sandra Niessen, antropolog berdarah Belanda yang membuat pernyataan itu. Penulis ‘Legacy in Cloth, Batak Textiles of Indonesia’ tersebut memang pernah tinggal di Sumatera Utara pada periode 1970-1980 saat meneliti kain Ulos untuk gelar Phd-nya. Tahun 2010, Sandra sedih bukan kepalang ketika mendapati kampung-kampung penghasil ulos terlihat sepi dan terlantar. Sandra, bersama aktivis budaya Ojak Tampe Raja berusaha mengetuk kembali semangat melestarikan ulos lewat workshop di festival ini. 

sumber:http; wego.co.od

Tidak ada komentar:

Posting Komentar